Navigation

Jenang, Simbol Kehidupan Masyarakat Jawa

TEMPO.CO, Surakarta - Pesta tradisional masyarakat Solo, Jawa Tengah, berlangsung di koridor Ngarsopuro, ruas jalan depan Pura Mangkunegaran. Ada ribuan orang memadati jalan sepanjang 300 meter itu. Wali Kota hingga tukang becak berbaur di sana. Jumat, 17 Februari 2017, pagi lalu, Kota Solo merayakan Hari Jadi ke-272, dan 17 jenang mewarnai sesajiannya. "Jenang memiliki keistimewaan bagi masyarakat Surakarta," kata pendiri Yayasan Jenang Indonesia, Slamet Raharjo.

Ada 17 ragam jenang atau bubur yang disajikan sebagai menu khusus peringatan Hari Jadi Kota Solo. Beberapa diantaranya: Jenang Sumsum, Jenang Koloh, Jenang Abrit Pethak, Jenang Saloka, dan Jenang Manggul. Jenang-jenang itu jamak dibuat dan dijual oleh para bakul atau penjual di pasar-pasar Kota Solo dan sekitarnya.

Sebagian jenis jenang itu memang nyaris tak dikenali lagi pada masa kini. Padahal di masa lalu, 17 jenis jenang itu sudah dipakai sebagai sesajian ketika mengantarkan perpindahan Kraton Kartasura ke Keraton Solo. Kraton Kartasura pada masa Pakubuwana II hancur setelah adanya peristiwa geger Pacinan di Betawi yang berimbas ke tanah Jawa. Rusaknya Kraton Kartasura pada pertengahan abad 18 itu dianggap sebagai pratanda hilangnya dasar kraton sebagai pusat kekuasaan. Maka, Pakubuwana II menganggap perlunya dibangun kraton baru. Didirikanlah istana baru itu di desa Sala pada tahun 1745.

Sebelum Kraton Surakarta Hadiningrat berdiri, jenang sudah memiliki kaitan erat dengan kehidupan masyarakat di sana. Maka jamak ditemui sajian utama jenang pada acara kenduri maupun selamatan—mengumpulkan sanak-saudara, tetangga, dan handai taulan, untuk bersama mendoakan agar selamat, seperti acara selamatan bagi bayi dalam kandungan maupun bagi orang dewasa.

Di masa kini, ritual kenduri dan selamatan sudah jarang ditemui di masyarakat Solo. Wajar bila kemudian berbagai jenis jenang tak beragam seperti dulu. Beberapa resto dan pedagang pasar di Solo dan sekitarnya memang masih menjual aneka jenang yang populer. Sebut saja jenang Sungsum—berbahan tepung beras, jenang grendul—berbahan tepung beras ketan, dan jenang ketang ireng—dari beras ketan hitam. 

Jenang Sumsum kerap dihidangkan dengan juruh, kuah yang terbuat dari gula kelapa sebagai pemanis. Nama jenang tersebut berasal dari zat dalam inti tulang sebagai simbol sebuah kekuatan. Hidangan ini wajib disedikan oleh keluarga yang baru saja melangsungkan upacara perkawinan. Biasanya, keluarga membagikan jenang sumsum pada kerabat dan tetangga yang membantu penyelenggaraan pesta perkawinan. Tujuannya agar tenaga warga dan kerabat itu pulih setelah terkuras selama penyelenggaraan pesta.

Adapula jenang yang disajikan hanya pada kejadian atau waktu khusus. Jenang Suran menjadi satu contohnya. Jenang ini hanya tersaji pada selamatan di awal Bulan Sura atau awal Tahun Baru penanggalan Jawa.

Jenang Procot mungkin sudah asing di telinga sebagaian besar masyarakat Jawa. Jenang yang terbuat dari tepung beras dan pisang ini dibagikan pada acara selamatan menjelang persalinan. Ini menjadi pengharapan supaya nantinya jabang bayi bisa lahir dengan lancar.

Fakta jenang kental bagi budaya masyarakat Jawa bukan isapan jempol. Beberapa tulisan tentang jenang tercatat dalam kitab kuno. Sejarawan dari Universitas Sanata Dharma, Heri Priyatmoko menemukannya dalam Serat Lubdaka karya Empu Tanakung. "Penulis kitab ini hidup di era Kerajaan Kediri atau abad XII," kata dia. Masakan berupa jenang atau bubur telah tercatat dalam kitab itu.

Kitab kuno yang lebih lengkap menulis tentang jenang adalah Serat Tatacara yang ditulis Ki Padmasusastra sekitar tahun 1893. Menurut Heri, kitab itu mendokumentasikan jenis jenang, bahan hingga penggunaannya dalam tradisi masyarakat.

Sedangkan sejarawan dari Universitas Sebelas Maret, Tundjung Sutirto mengatakan ada hal yang menarik pada penyajian jenang dalam budaya Jawa. “Jenang selalu tersaji dalam upacara maupun selamatan,” kata dia.

Amat sangat jarang ada sajian jenang pada upacara kematian maupun peringatan kematian di Jawa. Karena itu, Tundjung menyimpulkan jenang sebagai simbol sebuah kehidupan.
Share
Banner

Post A Comment:

0 comments: